Saat dapat sms dari Rohadi tentang meninggalnya Yanuar Ahmad (semoga Allah merahmatinya) 10 Agustus lalu, hal yang sangat kuingat adalah konggres HMI di Surabaya Januari 1995. Kami datang dari Solo sebagai penggembira.
Suatu pagi Yanuar ngajak aku jalan-jalan. "To ayo mlaku-mlaku to". Daripada nggak jelas apa yang mesti dikerjakan di lkasi konggres, maka aku ikut saja. Yanuar orangnya selalu ceria di hadapan orang lain. Setelah keluar dari asrama haji Sukolilo, di mana konggres diselenggarakan, tiba-tiba dia ngajak ke Madura. "Nyang Madura piye to?",katanya. "Ayo toh",jawabku ragu-ragu. "Tenang we, tak bayari to wis". Rupanya dia tahu dengan problem kemiskinan yang ada padaku. Untuk muter-muter Surabaya mana punya ongkos aku.
Dia pun juga tahu bahwa sebenarnya aku saat itu lagi punya minat yang besar terhadap masyarakat madura yang resisten itu. Memang kok saat itu masyarakat Madura lagi hangat diperbincangkan oleh para aktivis mahasiswa dan beberapa NGO. Anekdot-anekdot tentang orang menjadi bernuasa politis menggambarkan betapa resistennya masyarakat Madura terhadap kekuasaan negara. Contohnya anekdot begini, suatu pagi pak lurah menyuruh penduduk ikut penataran P4 tapi penduduk pada nggak mau, setelah ditanya kenapa nggak mau ikut penataran P4. Jawabnya, "ikut penataran P3 saja ndak boleh apalagi penataran P4". Pak lurahpun bingung nggak bisa maksa. Yang ikut penataran juga waktu diajari nyanyi Satu Nusa Satu Bangsa disuruh ambil suara Sa....... tapi setelah masuk nyanyi bukannya satu nusa satu bangsa, melainkan Salatullah salamullah....
Akhirnya aku sama Yanuar nyebrang ke Madura pakai kapal Ferry. Sampai di kamal kami oper angkutan hingga di alun-alun Bangkalan. Kami jajan soto Madura. Yang jualan masih muda tapi pakaianya tradisional. Bawahnya sarung batik, atas kemeja, pakai kopyah hitam, terus pakai sandal slobokan merk lily. Yanuar tampak gembira sekali bisa ketemu langsung dengan orang Madura. tak henti-hentinya dia mencoba ngajak ngobrol si pedagang tersebut.
Setelah selesai makan soto kami memutuskan kembali ke lokasi konggres karena nggak mungkin waktunya. Ketika mau naik angkutan ke kamal, Yanuar tanya sama keneknya berapa ongkos ke kamal berdua. waktu itu dijawab Rp. 750,-. Tapi sesampainya di kamal keneknya minta Rp. 1500,-. "Lho tadi katanya 750?" ,tanya Yanuar. "seribu lima ratus mas", kata kenek tadi. Tanpa nanya lagi akhirnya dibayar juga 1500. Nggak mungkin debat sama orang madura. Aku jadi ingat anekdot orang madura naik becak di jogjakarta, "pak ke malioboro berapa?', tanya seorang ibu dari madura. "dua ribu, bu",jawab tukang becak. Ibu tersebut setuju saja dan langsung diantar. Sesampainya di malioboro ibu tersebut cuma mbayar seribu. Maka tukang becak itu marah-marah. "lho kok cuma seribu?",kata tukang becak. "Memang berapa?",jawab ibu tersebut. "lha tadi katanya mau dua ribu?". Maka ibu tersebut dengan tangkas menjawab, "dua ribu itu kalo sampeyan ndak ikut naik". Tukang becak hanya terbengong-bengong.
Maka digituin sama kenek angkutan Yanuar hanya ketawa-ketawa saja. "wah kakekane ha..ha..". Memang bersama Yanuar nggak ada suasana sedih, selalu gembira. Tapi dengan begitu itu Yanuar pernah dimarahi banyak orang pada saat dia jadi korlap demonstrasi SDSB di Balai Kota Solo. Pasalnya pada saat yang orasi sudah nggak ada terjadi kekosongan, maka Yanuar mengajak para demonstran bernyanyi. "Mari kita bernyanyi lagu di sini senang di sana senang". Kontan saja semua teriak-teriak. "hai hai hai kita ini lagi sedih kok nyanyinya di sini senang di sana senang, gimana itu?? Akhirnya lagunya diganti dengan lagunya Iwan Fals.